25 Januari 2015

Hakikat Kehidupan Dunia - Saya Cinta Allah


Kehidupan dunia yang kita jalani saat ini dan kebanyakan dari kita sangat disibukkan di dalamnya dengan perkara-perkara materi, seperti makanan dan minuman, dan perkara-perkara maknawi seperti nama baik dan jabatan, hanyalah rentetan waktu sementara yang kita nikmati dan kita manfaatkan, untuk kemudian hilang dengan cepat. Orang yang tergoda dengan dunia dengan berbagai kesenangannya, ia telah teperdaya dan tertipu selamanya, sebab kehidupan dunia dan harta benda yang ada di dalamnya adalah kesenangan yang sedikit, ia menipu manusia dan memberinya angan-angan batil. Merupakan kewajiban bagi seseorang yang memiliki akal yang cerdas dan benar untuk tidak tertipu dengan dunia dan tidak berlebih-lebihan dalam mencintainya, jika tidak maka ia akan tertimpa keburukan dunia ketika hendak meninggalkannya.[1]


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hal ini dengan firman-Nya,

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“…..Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Kehidupan manusia adalah sebuah sekolah besar, sekaligus medan bagi perlombaan amal kebaikan, persaingan yang terhormat, bekerja dan berkontribusi, serta berisi pengorbanan dan pembangunan. Dan, sudah menjadi sunnatullah bahwa semuanya akan berkakhir, akan datang ajal yang telah ditetapkan dan kematian yang pasti. Barangsiapa melakukan amal kebaikan maka ia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Barangsiapa lalai dalam menunaikan kewajibannya maka ia teperdaya dan tertipu.[2]

Dunia hanyalah jembatan menuju akhirat. Barangsiapa menyeberang secara baik, dengan melakukan amal kebaikan bagi diri sendiri dan umatnya, maka ia akan mencapai tujuan, ia seorang yang berakal dan sadar akan jati dirinya.

Oleh karena itu Allah Ta’ala mengingatkan dalam awal ayat 185 surah Ali ‘Imran dengan firman-Nya,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.

Ayat di atas ini merupakan nasihat sekaligus penghibur bagi Rasulullah saw. dan umatnya terkait dengan perkara dunia dan penghuninya, bahwa dengan memikirkan kematian segala urusan menjadi ringan. Seseorang tidak lagi merasa berat menghadapi kesulitan, problematika, dan hal-hal menyakitkan di dunia. Sebab, setiap manusia berjalan ke arah kematian. Barangsiapa berlaku buruk terhadap diri sendiri, agama, dan umatnya, maka perlakuan buruk tersebut terbatas dan temporal, tidak ada alasan untuk berkeluh kesah   dan sakit hati, dia akan mendapatkan balasan   secara sempurna. Barangsiapa beriman dan berbuat baik, maka pada hari Kiamat pahala dan haknya akan ia terima secara sempurna, tanpa sedikit pun dikurangi.[3]

Hamba-hamba Allah yang dijauhkan dari neraka yang penuh dengan berbagai macam azab dan dimasukkan ke dalam surga, maka dialah yang memperoleh keberuntungan yang besar. Pernyataan ini memberi pengertian bahwa pekerjaan manusia dalam keseluruhannya mendorong mereka kepada neraka. Sebab, perbuatan-perbuatan buruk yang didasari hanya untuk memenuhi syahwat (kesenangan duniawi) lebih menonjol daripada perbuatan-perbuatan kebajikan. Maka, apabila di akhirat nanti seseorang dilepaskan dari azab, hal itu merupakan suatu keberuntungan yang besar, Orang yang dijauhkan dari neraka adalah orang yang lebih kuat sifat-sifat kerohanian (spiritual)-nya dibandingkan dengan sifat-sifat yang hanya mengejar kesenangan duniawi.[4]



Hadits-Hadits dan Nasihat Untuk Renungan

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
“Tempat untuk sebuah cemeti di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Bacalah oleh kalian, jika kalian suka, “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka sungguh ia beruntung.”

Hadits ini diriwayatkan juga dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tidak memalui jalan ini, dan tanpa adanya tambahan tersebut.[5]

Dari ‘Uqbah bin Amir r.a., ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda,
”Demi Allah, sesungguhnya aku tidak khawatir dengan kemusyrikan kalian sepeninggalku. Akan tetapi hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah (dunia) dimana kalian berlomba-lomba dalam meraihnya.” (HR. al-Bukhari)

Mengenai firman-Nya, “Kehidupan dunia itu tidak lain kesenangan yang memperdayakan.” Qatadah berkata, yaitu kesenangan yang pasti ditinggalkan. Demi Allah, yang tiada ilah selain Allah, dunia itu nyaris akan lenyap dari tangan pemiliknya. Jika kalian mampu, maka ambillah dari kesenangan itu untuk ketaatan, sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah.[6]
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah[7] mengatakan: Orang yang mencintai dunia secara berlebihan tidak akan lepas dari tiga macam penderitaan:
Pertama, kekalutan pikiran yang selalu menyertainya.

Kedua, kepayahan yang tiada henti.

Ketiga, penyesalan yang tiada berakhir.

Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia secara berlebihan jika telah mendapatkan sebagian dari harta benda duniawi, maka nafsunya tidak pernah puas dan terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda,

“Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).



Hikmah dan Pelajaran

Hidup di dunia yang fana yang kita jalani sekarang ini dengan aneka kesenangan, keindahan dan segala kenikmatan di dalamnya, hakikatnya hanyalah sebuah tipu daya. Karena itulah, kita harus berhati-hati dalam mencari kenikmatan dunia, sebab kenikmatan itu bagaikan fatamorgana, yang tiada batasnya. Setiap kita memperoleh sesuatu kenikmatan, akan timbul keinginan untuk mencari yang lain.[8]
Firman Allah Ta’ala, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Hal itu dimaksudkan untuk memperkecil nilai dunia sekaligus menghinakannya, dan bahwa dunia juga bersifat sangat fana dan sebentar, serta akan musnah binasa.[9]
Dalam ayat yang mulia ini terdapat dorongan untuk bersikap zuhud terhadap dunia, di mana ia tidak kekal dan akan fana, dunia juga merupakan kesenangan yang memperdaya; nampak indah dan menyilaukan, namun sesungguhnya ia akan binasa dan berpindah ke negeri yang kekal, negeri di mana amal manusia akan diberi balasan secara sempurna.[10]